Ali
Muchamad / 11121141
A.
Pendahuluan
Aspek keimanan yang akan dikaji dalam tulisan
ini adalah aspek kejiwaan dan nilai. Aspek ini belum mendapat perhatian seperti
perhatian terhadap aspek lainnya. Kecintaan kepada Allah, ikhlas beramal hanya karena
Allah, serta mengabdikan diridan tawakal sepenuhnya kepada-Nya, merupakan nilai
keutamaan yang perlu diperhatikan dan diutamakandalam menyempurnakan
cabang-cabang keimanan.
Sesungguhnya amalah lahiriah berupa ibadah mahdhah dan muamalah tidak akan mencapai
kesempurnaan, kecuali jika didasari dan diramu dengan nilai keutamaan tersebut.
Sebab nilai-nilai tersebut senantiasa mengalir dalam hati dan tertuang dalam
setiap gerak serta perilaku keseharian.
Pendidikan modern telah mempengaruhi peserta
didik dari berbagai arah dan pengaruhnya telah sedemikian rupa merasuki jiwa
generasi penerus. Jika tidak pandai membina jiwa generasi mendatang, “dengan
menanamkan nilai-nilai keimanan dalam nalar, pikir dan akal budi mereka”, maka
mereka tidak akan selamat dari pengaruh negatif pendidikan modern. Mungkin
mereka merasa ada yang kurang dalam sisi spiritualitasnya dan berusaha
menyempurnakan dari sumber-sumber lain. Bila ini terjadi, maka perlu segera
diambil tindakan, agar pintu spiritualitas yang terbuka tidak diisi oleh ajaran
lain yang bukan berasal dari ajaran spiritualitas Islam.
Seorang muslim yang
paripurna adalah yang nalar dan hatinya bersinar, pandangan akal dan hatinya
tajam, akal pikir dan nuraninya berpadu dalam berinteraksi dengan Allah dan
dengan sesama manusia, sehingga sulit diterka mana yang lebih dahulu berperan
kejujuran jiwanya atau kebenaran akalnya. Sifat kesempurnaan ini merupakan
karakter Islam, yaitu agama yang membangun kemurnian akidah atas dasar
kejernihan akal dan membentuk pola pikir teologis yang menyerupai bidang-bidang
ilmu eksakta, karena dalam segi akidah, Islam hanya menerima hal-hal yang
menurut ukuran akal sehat dapat diterima sebagai ajaran akidah yang benar dan
lurus.
Pilar akal dan rasionalitas dalam akidah
Islam tecermin dalam aturan muamalat dan dalam memberikan solusi
serta terapi bagi persoalan yang dihadapi. Selain itu Islam adalah agama
ibadah. Ajaran tentang ibadah didasarkan atas kesucian hati yang dipenuhi
dengan keikhlasan, cinta, serta dibersihkan dari dorongan hawa nafsu, egoisme,
dan sikap ingin menang sendiri. Agama seseorang tidak sempurna, jika kehangatan
spiritualitas yang dimiliki tidak disertai dengan pengalaman ilmiah dan
ketajaman nalar. Pentingnya akal bagi iman ibarat pentingnya
mata bagi orang yang sedang berjalan.
B. Filsafat Ketuhanan
dalam Islam
Siapakah Tuhan itu?
Perkataan ilah, yang diterjemahkan
“Tuhan”, dalam Al-Quran dipakai untuk menyatakan berbagai obyek yang dibesarkan
atau dipentingkan manusia, misalnya dalam QS 45 (Al-Jatsiiyah): 23, yaitu:
“Maka pernahkah kamu
melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya….?”
Dalam QS 28 (Al-Qashash):38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk
dirinya sendiri:
“Dan Fir’aun berkata:
Wahai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.”
Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan
bahwa perkataan ilah bisa mengandung arti berbagai benda, baik
abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun benda nyata (Fir’aun atau penguasa
yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam Al-Quran juga dipakai
dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna:ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun). Bertuhan nol atau
atheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti dengan definisi Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan
logika Al-Quran sebagai berikut:
Tuhan (ilah)
ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian
rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya.
Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara
luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan
dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang
ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.
Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:
Al-ilah ialah: yang
dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepada-Nya, merendahkan diri di
hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika
berada dalam kesulitan, berdoa, dan bertawakal kepadanya untuk kemaslahatan
diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat
mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya (M.Imaduddin, 1989:56)
Atas dasar definisi ini, Tuhan itu bisa
berbentuk apa saja, yang dipentingkan manusia. Yang pasti, manusia tidak
mungkin ateis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan logika Al-Quran,
setiap manusia pasti ada sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan begitu,
orang-orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan mereka ialah
ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.
Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “la
ilaaha illa Allah”. Susunan kalimat tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu
“tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan penegasan “melainkan Allah”.
Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan diri dari segala macam
Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada dalam hatinya hanya ada satu Tuhan,
yaitu Allah.
Sejarah Pemikiran
Manusia tentang Tuhan
1.
Pemikiran Barat
Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut
pemikiran manusia adalah konsep yang didasarkan atas hasil pemikiran baik
melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang bersifat penelitian
rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori
evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang
amat sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut
mula-mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor,
Robertson Smith, Lubbock dan Javens. Proses perkembangan pemikiran tentang
Tuhan menurut teori evolusionisme adalah sebagai berikut:
Menurut paham ini, manusia sejak zaman
primitif telah mengakui adanya kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan.
Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda
mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada pula yang
berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan nama yang
berbeda-beda, seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu), dan syakti (India). Mana adalah
kekuatan gaib yang tidak dapat dilihat atau diindera dengan pancaindera. Oleh
karena itu dianggap sebagai sesuatu yang misterius. Meskipun nama tidak dapat
diindera, tetapi ia dapat dirasakan pengaruhnya.
Masyarakat primitif pun mempercayai adanya
peran roh dalam hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik, mempunyai roh.
Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun
bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang selalu
hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang apabila kebutuhannya dipenuhi.
Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek negatif dari roh-roh
tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai
dengan saran dukun adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama
tidak memberikan kepuasan, karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan
pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai
tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada dewa yang bertanggung
jawab terhadap cahaya, ada yangmembidangi masalah air, ada yang membidangi
angin dan lain sebagainya.
Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama
terhadap kaum cendekiawan. Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan
seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan
kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa
hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia masih
mengakui Tuhan (Ilah) bangsa lain. Kepercayaan satu Tuhan untuk
satu bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan Tingkat Nasional).
Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah
menjadi monoteisme. Dalam monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh
bangsa dan bersifat internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat
Ketuhanan terbagi dalam tiga paham, yaitu: deisme, panteisme, dan teisme.
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap
Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang
oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya monoteisme dalam masyarakat
primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya rendah juga sama
monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada
wujud yang Agung dan sifat-sifat yang khas terhadap Tuhan mereka, yang tidak
mereka berikan kepada wujud yang lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka
berangsur-angsur golongan evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya
sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat mulai menantang evolusionisme dan
memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa
ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau
wahyu. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam
kepercayaan yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam
penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat
primitif adalah monoteisme dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu
Tuhan (Zaglul Yusuf, 1993:26-27).
2. Pemikiran Umat
Islam
Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan Ilmu
Tauhid, Ilmu Kalam, atau Ilmu Ushuluddin di kalangan umat Islam, timbul sejak
wafatnya Nabi Muhammad SAW. Secara garis besar, ada aliran yang bersifat
liberal, tradisional, dan ada pula yang bersifat di antara keduanya. Sebab
timbulnya aliran tersebut adalah karena adanya perbedaan metodologi dalam
memahami Al-Quran dan Hadis dengan pendekatan kontekstual sehingga lahir aliran
yang bersifat tradisional. Sedang sebagian umat Islam yang lain memahami dengan
pendekatan antara kontektual dengan tektual sehingga lahir aliran yang bersifat
antara liberal dengan tradisional. Ketiga corak pemikiran ini telah mewarnai
sejarah pemikiran ilmu ketuhanan dalam Islam. Aliran tersebut yaitu:
a. Mu’tazilah yang merupakan kaum
rasionalis di kalangan muslim, serta menekankan pemakaian akal pikiran dalam
memahami semua ajaran dan keimanan dalam Islam. Orang islam yang berbuat dosa
besar, tidak kafir dan tidak mukmin. Ia berada di antara posisi mukmin dan
kafir (manzilah bainal manzilatain).
Dalam menganalisis ketuhanan, mereka memakai
bantuan ilmu logika Yunani, satu sistem teologi untuk mempertahankan kedudukan
keimanan. Hasil dari paham Mu’tazilah yang bercorak rasional ialah muncul abad
kemajuan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun kemajuan ilmu pengetahuan akhirnya
menurun dengan kalahnya mereka dalam perselisihan dengan kaum Islam
ortodoks. Mu’tazilah lahir sebagai pecahan dari kelompok Qadariah, sedang Qadariah adalah pecahan dari
Khawarij.
b. Qodariah yang berpendapat bahwa manusia
mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat. Manusia sendiri yang
menghendaki apakah ia akan kafir atau mukmin dan hal itu yang menyebabkan
manusia harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
c. Jabariah yang merupakan pecahan dari
Murji’ah berteori bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam
berkehendak dan berbuat. Semua tingkah laku manusia ditentukan dan dipaksa oleh
Tuhan.
d. Asy’ariyah dan Maturidiyah yang
pendapatnya berada di antara Qadariah dan Jabariah
Semua aliran itu mewarnai kehidupan pemikiran
ketuhanan dalam kalangan umat islam periode masa lalu. Pada prinsipnya
aliran-aliran tersebut di atas tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam.
Oleh karena itu umat Islam yang memilih aliran mana saja diantara aliran-aliran
tersebut sebagai teologi mana yang dianutnya, tidak menyebabkan ia keluar dari
islam. Menghadapi situasi dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini, umat
Islam perlu mengadakan koreksi ilmu berlandaskan al-Quran dan Sunnah Rasul,
tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu. Di antara aliran tersebut
yang nampaknya lebih dapat menunjang perkembangan ilmu pengetahuan dan
meningkatkan etos kerja adalah aliranMu’tazilah dan Qadariah.
Tuhan Menurut
Agama-agama Wahyu
Pengkajian manusia tentang Tuhan, yang hanya
didasarkan atas pengamatan dan pengalaman serta pemikiran manusia, tidak akan
pernah benar. Sebab Tuhan merupakan sesuatu yang ghaib, sehingga informasi
tentang Tuhan yang hanya berasal dari manusia biarpun dinyatakan sebagai hasil
renungan maupun pemikiran rasional, tidak akan benar.
Informasi tentang asal-usul kepercayaan
terhadap Tuhan antara lain tertera dalam:
1.
QS 21 (Al-Anbiya): 92, “Sesungguhnya agama
yang diturunkan Allah adalah satu, yaitu agama Tauhid. Oleh karena itu
seharusnya manusia menganut satu agama, tetapi mereka telah berpecah belah.
Mereka akan kembali kepada Allah dan Allah akan menghakimi mereka.
Ayat tersebut di atas memberi petunjuk kepada
manusia bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan konsep tentang ajaran
ketuhanan sejak zaman dahulu hingga sekarang. Melalui Rasul-rasul-Nya, Allah
memperkenalkan dirinya melalui ajaran-Nya, yang dibawa para Rasul, Adam sebagai
Rasul pertama dan Muhammad sebagai terakhir.
Jika terjadi perbedaan-perbedaan ajaran
tentang ketuhanan di antara agama-agama adalah karena perbuatan manusia. Ajaran
yang tidak sama dengan konsep ajaran aslinya, merupakan manipulasi dan
kebohongan manusia yang teramat besar.
2. QS 5 (Al-Maidah):72, “Al-Masih berkata:
“Hai Bani Israil sembahlah Allah Tuhaku dan Tuhanmu. Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti mengharamkan kepadanya
syurga, dan tempat mereka adalah neraka.
3. QS 112 (Al-Ikhlas): 1-4, “Katakanlah,
Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung pada-Nya
segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan dan tidak ada
seorangpun yang setara dengan Dia.”
Dari ungkapan ayat-ayat tersebut, jelas bahwa
Tuhan adalah Allah. Kata Allah adalah nama isim
jumid atau personal
name.Merupakan
suatu pendapat yang keliru, jika nama Allah diterjemahkan dengan kata “Tuhan”,
karena dianggap sebagai isim musytaq.
Tuhan yang haq dalam konsep al-Quran adalah
Allah. Hal ini dinyatakan antara lain dalam surat Ali Imran ayat 62, surat Shad
35 dan 65, surat Muhammad ayat 19. Dalam al-quran diberitahukan pula bahwa
ajaran tentang Tuhan yang diberikan kepada Nabi sebelum Muhammad adalah Tuhan
Allah juga. Perhatikan antara lain surat Hud ayat 84 dan surat al-Maidah ayat
72. Tuhan Allah adalah esa sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Ankabut ayat
46, Thaha ayat 98, dan Shad ayat 4.
Dengan mengemukakan alasan-alasan tersebut di
atas, maka menurut informasi al-Quran, sebutan yang benar bagi Tuhan yang
benar-benar Tuhan adalah sebutan “Allah”, dan kemahaesaan Allah tidak melalui
teori evolusi melainkan melalui wahyu yang datang dari Allah. Hal ini berarti
konsep tauhid telah ada sejak datangnya Rasul Adam di muka bumi. Esa menurut
al-Quran adalah esa yang sebenar-benarnya esa, yang tidak berasal dari
bagian-bagiandan tidak pula dapat dibagi menjadi bagian-bagian.
Keesaan Allah adalah mutlak. Ia tidak dapat
didampingi atau disejajarkan dengan yang lain. Sebagai umat Islam, yang
mengikrarkan kalimat syahadat La ilaaha illa Allah harus menempatkan Allah
sebagai prioritas utama dalam setiap tindakan dan ucapannya.
Konsepsi kalimat La ilaaha illa Allah yang
bersumber dari al-quran memberi petunjuk bahwa manusia mempunyai kecenderungan
untuk mencari Tuhan yang lain selain Allah dan hal itu akan kelihatan dalam
sikap dan praktik menjalani kehidupan.
Pembuktian Wujud Tuhan
1. Metode Pembuktian
Ilmiah
Tantangan zaman modern terhadap agama
terletak dalam masalah metode pembuktian. Metode ini mengenal hakikat melalui
percobaan dan pengamatan, sedang akidah agama berhubungan dengan alam di luar
indera, yang tidak mungkin dilakukan percobaan (agama didasarkan pada analogi
dan induksi). Hal inilah yang menyebabkan menurut metode ini agama batal, sebab
agama tidak mempunyai landasan ilmiah.
Sebenarnya sebagian ilmu modern juga batal,
sebab juga tidak mempunyai landasan ilmiah. Metode baru tidak mengingkari wujud
sesuatu, walaupun belum diuji secara empiris. Di samping itu metode ini juga
tidak menolak analogi antara sesuatu yang tidak terlihat dengan sesuatu yang
telah diamati secara empiris. Hal ini disebut dengan “analogi ilmiah” dan
dianggap sama dengan percobaan empiris.
Suatu percobaan dipandang sebagai kenyataan
ilmiah, tidak hanya karena percobaan itu dapat diamati secara langsung.
Demikian pula suatu analogi tidak dapat dianggap salah, hanya karena dia
analogi. Kemungkinan benar dan salah dari keduanya berada pada tingkat yang
sama.
Percobaan dan pengamatan bukanlah metode
sains yang pasti, karena ilmu pengetahuan tidak terbatas pada persoalan yang
dapat diamati dengan hanya penelitian secara empiris saja. Teori yang
disimpulkan dari pengamatan merupakan hal-hal yang tidak punya jalan untuk
mengobservasi. Orang yang mempelajari ilmu pengetahuan modern berpendapat bahwa
kebanyakan pandangan pengetahuan modern, hanya merupakan interpretasi terhadap
pengamatan dan pandangan tersebut belum dicoba secara empiris. Oleh karena itu
banyak sarjana percaya padanya hakikat yang tidak dapat diindera secara
langsung. Sarjana mana pun tidak mampu melangkah lebih jauh tanpa berpegang
pada kata-kata seperti: “Gaya” (force), “Energy”, “alam” (nature), dan “hukum alam”.
Padahal tidak ada seorang sarjana pun yang mengenal apa itu: “Gaya, energi,
alam, dan hukum alam”. Sarjana tersebut tidak mampu memberikan penjelasan
terhadap kata-kata tersebut secara sempurna, sama seperti ahli teologi yang
tidak mampu memberikan penjelasan tentang sifat Tuhan. Keduanya percaya sesuai
dengan bidangnya pada sebab-sebab yang tidak diketahui.
Dengan demikian tidak berarti bahwa agama
adalah “iman kepada yang ghaib” dan ilmu pengetahuan adalah percaya kepada
“pengamatan ilmiah”. Sebab, baik agama maupun ilmu pengetahuan kedua-duanya
berlandaskan pada keimanan pada yang ghaib. Hanya saja ruang lingkup agama yang
sebenarnya adalah ruang lingkup “penentuan hakikat” terakhir dan asli, sedang
ruang lingkup ilmu pengetahuan terbatas pada pembahasan ciri-ciri luar saja.
Kalau ilmu pengtahuan memasuki bidang penentuan hakikat, yang sebenarnya adalah
bidang agama, berarti ilmu pengetahuan telah menempuh jalan iman kepada yang
ghaib. Oleh sebab itu harus ditempuh bidang lain.
Para sarjana masih menganggap bahwa hipotesis
yang menafsirkan pengamatan tidak kurang nilainya dari hakikat yang diamati.
Mereka tidak dapat mengatakan: Kenyataan yang diamati adalah satu-satunya
“ilmu” dan semua hal yang berada di luar kenyataan bukan ilmu, sebab tidak
dapat diamati. Sebenarnya apa yang disebut dengan iman kepada yang ghaib oleh
orang mukmin, adalah iman kepada hakikat yang tidak dapat diamati. Hal ini
tidak berarti satu kepercayaan buta, tetapi justru merupakan interpretasi yang
terbaik terhadap kenyataan yang tidak dapat diamati oleh para sarjana.
2. Keberadaan Alam
Membuktikan Adanya Tuhan
Adanya alam serta organisasinya yang
menakjubkan dan rahasianya yang pelik, tidak boleh tidak memberikan penjelasan
bahwa ada sesuatu kekuatan yang telah menciptakannya, suatu “Akal” yang tidak
ada batasnya. Setiap manusia normal percaya bahwa dirinya “ada” dan percaya
pula bahwa alam ini “ada”. Dengan dasar itu dan dengan kepercayaan inilah
dijalani setiap bentuk kegiatan ilmiah dan kehidupan.
Jika percaya tentang eksistensi alam, maka
secara logika harus percaya tentang adanya Pencipta Alam. Pernyataan yang
mengatakan: <<Percaya adanya makhluk, tetapi menolak adanya
Khaliq>> adalah suatu pernyataan yang tidak benar. Belum pernah diketahui
adanya sesuatu yang berasal dari tidak ada tanpa diciptakan. Segala sesuatu bagaimanapun
ukurannya, pasti ada penyebabnya. Oleh karena itu bagaimana akan percaya bahwa
alam semesta yang demikian luasnya, ada dengan sendirinya tanpa pencipta?
3. Pembuktian Adanya
Tuhan dengan Pendekatan Fisika
Sampai abad ke-19 pendapat yang mengatakan
bahwa alam menciptakan dirinya sendiri (alam bersifat azali) masih banyak
pengikutnya. Tetapi setelah ditemukan “hukum kedua termodinamika” (Second law of
Thermodynamics), pernyataan ini telah kehilangan landasan berpijak.
Hukum tersebut yang dikenal dengan hukum keterbatasan
energi atau teori pembatasan perubahan energi panas membuktikan bahwa adanya
alam tidak mungkin bersifat azali. Hukum tersebut menerangkan bahwa energi
panas selalu berpindah dari keadaan panas beralih menjadi tidak panas. Sedang
kebalikannya tidak mungkin, yakni energi panas tidak mungkin berubah dari
keadaan yang tidak panas menjadi panas. Perubahan energi panas dikendalikan
oleh keseimbangan antara “energi yang ada” dengan “energi yang tidak ada”.
Bertitik tolak dari kenyataan bahwa proses
kerja kimia dan fisika di alam terus berlangsung, serta kehidupan tetap
berjalan. Hal itu membuktikan secara pasti bahwa alam bukan bersifat azali.
Seandainya alam ini azali, maka sejak dulu alam sudah kehilangan energinya,
sesuai dengan hukum tersebut dan tidak akan ada lagi kehidupan di alam ini.
Oleh karena itu pasti ada yang menciptakan alam yaitu Tuhan.
4. Pembuktian Adanya
Tuhan dengan Pendekatan Astronomi
Benda alam yang paling dekat dengan bumi
adalah bulan, yang jaraknya dari bumi sekitar 240.000 mil, yang bergerak
mengelilingi bumi dan menyelesaikan setiap edarannya selama dua puluh sembilan
hari sekali. Demikian pula bumi yang terletak 93.000.000.000 mil dari matahari
berputar pada porosnya dengan kecepatan seribu mil per jam dan menempuh garis
edarnya sepanjang 190.000.000 mil setiap setahun sekali. Di samping bumi
terdapat gugus sembilan planet tata surya, termasuk bumi, yang mengelilingi
matahari dengan kecepatan luar biasa.
Matahari tidak berhenti pada suatu tempat
tertentu, tetapi ia beredar bersama-sama dengan planet-planet dan asteroid
mengelilingi garis edarnya dengan kecepatan 600.000 mil per jam. Di samping itu
masih ada ribuan sistem selain “sistem tata surya” kita dan setiap sistem
mempunyai kumpulan atau galaxy sendiri-sendiri. Galaxy-galaxy tersebut juga
beredar pada garis edarnya. Galaxy dimana terletak sistem matahari kita,
beredar pada sumbunya dan menyelesaikan edarannya sekali dalam 200.000.000
tahun cahaya.
Logika manusia dengan memperhatikan sistem
yang luar biasa dan organisasi yang teliti, akan berkesimpulan bahwa mustahil
semuanya ini terjadi dengan sendirinya, bahkan akan menyimpulkan bahwa di balik
semuanya itu ada kekuatan maha besar yang membuat dan mengendalikan sistem yang
luar biasa tersebut, kekuatan maha besar tersebut adalah Tuhan.
Metode pembuktian adanya Tuhan melalui
pemahaman dan penghayatan keserasian alam tersebut oleh Ibnu Rusyd diberi
istilah “dalil ikhtira”. Di samping itu Ibnu Rusyd juga menggunakan metode lain
yaitu “dalil inayah”. Dalil ‘inayah adalah metode pembuktian adanya Tuhan
melalui pemahaman dan penghayatan manfaat alam bagi kehidupan manusia (Zakiah
Daradjat, 1996:78-80).